Senin, 01 Maret 2010

SEJARAH BOSO WALIKAN - KHAS AREMA


Di sudut kota, tepatnya di daerah Kidul Pasar, beberapa orang bergaris wajah keras bergerombol. Mereka dari kalangan tukang parkir. Entah apa yang mereka bicarakan. Kadang dimengerti kadang tidak. Kalau diperhatikan, pembicaraan mereka sedang menghitung keuntungan parkir.

Itu tampak dari beberapa perkataan mereka yang sesekali menggunakan bahasa Jawa dicampur bahasa Malangan.

"Wah nek ngene, awak kadit unyap ojir. Lha adapes2 rotom iku podho kadit rayab blas nek parkir nang kene (wah, kalau begini, aku tidak punya uang.

Lha sepeda motor-sepeda motor itu kalau parkir di sini tidak ada yang bayar)," kata Sukriman, salah seorang tukang parkir itu.

Lain lagi para Aremania yang ternyata sudah membumi dengan bahasa Malangan.

Penggunaan bahasa Malangan itu ternyata kerap digunakan. Ini menunjukkan kebanggaan sebagai warga Malang. "Sekitar 80 persen Aremania menerapkan bahasa walikan. Kami malah bangga menggunakan bahasa Malangan ketika sedang tur mengikuti pertandingan Arema. Bahasa itu kami gunakan untuk memuji Arema atau mengkritik tim lawan," kata Agus Kancil, ketua Korwil Aremania Kasin.

 

Namun, kalau dicermati, ternyata ada bahasa yang khas istilah yang asli Malang. Seperti genaro (orang), ebes (orang tua), ojir (uang), raijo (uang), daroja (sepeda), dan sebagainya. Sedangkan yang lainnya, walikan diambil dalam bahasa yang sebenarnya Misalnya, kadit itreng (tidak ngerti), nakam (makan), nganal (laki-laki), kodew (perempuan), dan silup (polisi).

Lalu, dari mana munculnya bahasa walikan ini?

Pengamat sejarah dari Universitas Negeri Malang (UM) Dwi Cahyono menjelaskan, bahasa walikan yang kini sudah menjadi bahasa gaul tersebut sudah lama digunakan para pejuang di masa sebelum kemerdekaan. Bahasa walikan sudah lama menjadi sandi-sandi khusus para pejuang untuk berkomunikasi dengan para pribumi.

"Ini digunakan untuk mengelabuhi para penjajah di zaman Belanda.

Sebab, dengan cara itu, ternyata lebih mudah menjalin hubungan dengan sesama pejuang," terang pengamat sejarah ini.

 

Kini bahasa walikan sudah membaur jadi satu dengan bahasa Malangan. Bahkan, kini sudah menjadi trade mark warga Malang. "Bahasa Malangan kini sudah menjadi bahasa gaul dari berbagai kalangan. Tidak hanya yang muda. Yang tua pun masih awet menggunakannya. Bahkan, bahasa walikan ini bisa mempererat hubungan persaudaraan," tutur Dwi.

 

----------------------------------------------------------------------

Osob kiwalan kera ngalam (bahasa terbalik Arek Malang) berasal dari pemikiran para pejuang tempo doeloe yaitu kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK). Bahasa khusus ini dianggap perlu untuk menjamin kerahasiaan, efektifitas komunikasi sesama pejuang selain juga sebagai pengenal identitas kawan atau lawan. Metode pengenalan ini sangat penting karena pada masa Clash II perang kemerdekaan sekitar akhir Maret 1949 Belanda banyak menyusupkan mata-mata di dalam kelompok pejuang Malang.

 

 

Mata-mata ini banyak yang mampu berkomunikasi dalam bahasa daerah dengan tujuan menyerap informasi dari kalangan pejuang GRK. penyusupan ini terutama untuk memburu sisa laskar Mayor Hamid Rusdi yang gugur pada 8 Maret 1949 dalam pertempuran dukuh Sekarputih (Desa Wonokoyo sekarang).

Seorang tokoh pejuang Malang pada saat itu yaitu Pak Suyudi Raharno mempunyai gagasan untuk menciptakan bahasa baru bagi sesama pejuang sehingga dapat menjadi suatu identitas tersendiri sekaligus menjaga keamanan informasi. Bahasa tersebut haruslah lebih kaya dari kode dan sandi serta tidak terikat pada aturan tata bahasa baik itu bahasa nasional, bahasa daerah (Jawa, Madura, Arab, Cina) maupun mengikuti istilah yang umum dan baku. Bahasa campuran tersebut hanya mengenal satu cara baik pengucapan maupun penulisan yaitu secara terbalik dari belakang dibaca kedepan.

 

 

Karena keakraban dan pergaulan sehari-hari maka para pejuang dalam waktu singkat dapat fasih menguasai 'bahas' baru ini. Sedangkan lawan dan para penyusup yang tidak setiap hari bergaul dengan sendirinya akan kebingungan dan selalu ketinggalan istilah2 baru. Maka siapapun yang tidak fasih mempergunakan osob AREMA ini pasti bukan dari golongan pejuang dan pendukungnya, sehingga kehadiran para penyusup dapat diketahui dengan cepat serta rahasia komunikasi tetap terjaga.

 

Karena bahasa ini sangat bebas dan longgar aturannya maka kemungkinan pengembangannya sangat luas untuk itu perlu disepakati beberapa istilah penting dikalangan pejuang. Kesepakatan istilah ini diperlukan juga karena banyak kata penting sulit untuk dibaca terbalik sehingga harus dicari istilah dan padanan yang sesuai namun mudah diingat oleh para pelakunya.

Contohnya kata 'Belanda' dalam bahasa Jawa disebut 'Londho' yang cukup sulit dibaca terbalik, maka dicari istilah padanannya yaitu 'Nolo'.

Demikian juga dengan 'Polisi' bukan menjadi 'Isilop' namun cukup 'Silop'.

Kemudian untuk 'mata-mata' bila dibaca terbalik menjadi 'atam'. Namun untuk menentukan bahwa yang dimaksud dalam istilah tersebut adalah antek Belanda maka ditambahi kata 'keat' dari asal kata 'taek' yang dalam bahasa jawa berarti kotoran. 'Keat Atam' atau kotoran mata dalam bahasa jawa disebut 'ketek' adalah sebutan yang pas untuk para penyusup ini.

 

 

Begitu juga dengan nama peralatan perang seperti senjata genggam karena sulit menemukan istilah yang pas maka dipakai kode samaran 'Benduk' dan untuk laras panjang (dowo = panjang dalam bahasa Jawa) disebut 'benduk owod' atau disingkat 'owod' saja. Sedangkan untuk menunjuk masyarakat suku / etnik tertentu disebut 'onet' untuk golongan Cina (asal kata 'cino' dalam bahasa Jawa), 'arudam' untuk madura, 'arab' menjadi 'bara' dan seterusnya.

Sedang untuk menyebut diri seseorang digunakan 'uka' = aku, 'ayas' = saya, 'umak' = kamu, 'okir' = riko (kamu dalam bahasa madura).

 

Sedangkan untuk menyebutkan sesuatu yang baik / bagus digunakan istilah 'nez' dari asal kata bahasa arab 'zen'. Begitu pula dalam menyebut orang tua laki-laki (ayah, Bapak) orang arab biasa menyebut dengan 'abah' atau 'sebeh' yang kemudian menjadi 'ebes'. Istilah 'ebes' kemudian menjadi populer ditujukan sebagai gelar kehormatan tidak resmi kepada para komandan, pemimpin atau pembesar dan pemuka masyarakat yang dituakan oleh segenap masyarakat Malang sampai sekarang.

 

Suyudi Raharno pada September 1949 gugur disergap Belanda di suatu pagi buta dipinggiran wilayah dukuh Genukwatu (Purwantoro sekarang) walaupun keadaan pada saat itu sedang gencatan senjata. Seminggu sebelumnya salah seorang kawan akrabnya yang turut mencetuskan 'osob kera ngalam' yaitu Wasito juga gugur dalam pertempuran di Gandongan (Pandanwangi) sekarang.

Saat ini keduanya telah disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati - Jalan Veteran Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar