Senin, 01 Maret 2010

Sepak Bola Moderen Itu Bisnis


Ketika saya masih bekerja untuk program Planet Football RCTI, tahun 1995, saya mewawancarai Nirwan Bakrie di Hotel Hilton (sekarang Sultan). Pertanyaannya seperti ini : Anda bercermin dari sosok Silvio Berlusconi, dalam membangun sepak bola dan bisnis Anda ya? Demikian kira-kira saya tanya, mengingat saat itu sosok NDB, panggilan akrabnya di lingkungan sepak bola, melakukan banyak terobosan kreatif.

Dengan senyum kecilnya, Nirwan menjawab, “Bisa aje elu. Intinya gini, gua bangun bola perlu banyak hal, dan wajar kalau bisa mirip seperti Silvio, tapi gua nggak berpolitik seperti Silvio,” tegasnya. Dari dekade para sosok-sosok penggila dan hobi bola, tapi memiliki kerajaan bisnis dari pendahulu-penduhulunya, hanya menyisakan satu orang, yaitu Nirwan Bakrie, sedangkan yang lainnya terkubur habis-habis.

Bedanya, memang lumayan antara Nirwan dan Silvio. Jika Silvio memulai bisnisnya dari seorang advertising, dan kemudian memiliki banyak media, seperti televisi Telemilano, dan kemudian merambah punya RAI, televisi Italia secara monopoli. Sebagai pebisnis yang lihai, Silvio juga membuka jaringan telivisi kabel, seperti Canale 5, dan banyak misnis media cetak, jadilah bangunan holdingnya media grup. Termasuk didalamnya, majalah bergengsi Forbes pun dijadikan alat propaganda membangun image-nya di bidang politik. Dan, buntunya, lahirlah partai baru bernama Forza Italy.

Dari konsep bisnis raksasa yang dibangun enterpreuner Silvio Berlusconi, melangkahkan kakinya sebagai perdana menteri Italia dua kali hingga saat ini, serta beberapa kali menjadi menteri Tenaga Kerja dan menteri Kesehatan pun pernah dijabat. Tidak sampai di situ, klub sehebat AC Milan pun mampu dibeli dalam menjaga stabilitas bisnisnya. Mungkin, karena apes akibat sudah mampu memiliki segalanya (membeli kekuasaan dan membeli duniawi), Silvio sempat kena getahnya, dilempar sepatu dengan merontokkan giginya, hingga harus dirawat sebulan, walaupun posisinya sebagai perdana menteri Italia saat ini.

Sedangkan, Nirwan Dermawan Bakrie adalah salah satu generasi kedua dari keluarga Achmad Bakrie, pengusaha lokal asal Lampung, yang memiliki bendera Kelompok Usaha Bakrie Grup. Sebagai anak ketiga, setelah Aburizal ‘Ical’ Bakrie dan Roosmania ‘Odi’ Bakrie, Nirwan Bakrie menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, dan kemudian melanjutkan studinya di Amerika, hingga mendapatkan gelar MBA.

Tahun 1985, Nirwan dicambangi Rahim Sukasah dan Bertje Matulapelwa agar mau membangun klub baru, akibat semua pemain UMS’80 dibubarkan oleh William Suryajaya, pemilik Astra Grup. Dan, sepertinya Nirwan sangat tertarik, sehingga lahirlah Pelita Jaya Jakarta. Setelah membangun klub baru, Nirwan juga sangat serius membangun homebase. Maka, dibangunlah sistem kontrak bangun 20 tahun dengan pemda Jakarta Selatan, untuk membangun Stadion Sanggraha Lebak Bulus. Juga membangun komplek atlet Pelita Jaya, di Sawangan – Bogor, untuk semua atlet binaan Pelita Jaya grup, seperti bulutangkis, tenis, sepak bola dan basket.

Nirwan Bakrie, sebagai pengendali grup Bakrie, tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam membangun bisnisnya, Nirwan mendapat tawaran dari Agung Laksono, pemilik ANTV untuk mengambilalih televisi swasta tersebut. Maka, tahun 1993, Nirwan sudah menguasai ANTV sepenuhnya.

Dalam bisnis media, Nirwan juga mendapat partner dari M. Nigara (mantan wartawan Bola), untuk membangun media olahraga mingguan, yaitu Media GO (kini jadi harian dengan nama GoSports). Nirwan Bakrie sangat setuju, ketika tahun 1994, saat launching tabloid GO tersebut mendatangkan klub elit Italia, Sampdoria dan AC Milan.

Saat itu, Nirwan Bakrie sudah memasuki organisasi PSSI, di mana pertama kalinya Nirwan ditunjuk menjadi manajer tim PSSI yang dipersiapkan ke Pra Piala Dunia 1988-89, juga manajer tim PSSI Merdeka Games 1989, di era kemimpinan Kardono. Tahun 1992-3, Nirwan sudah duduk dalam kepengurusan PSSI, sebagai ketua III - PSSI, dengan melahirkan PSSI Primavera dan Baretti.

Masih belum puas dalam merambah media, Nirwan juga membeli beberapa media, Nusra (Bali), Sinar Pagi (Jakarta), dan Berita Buana (Jakarta) yang dipindah dari harian pagi menjadi harian sore. Juga menginvestasi program RRI Program 2. Sementara itu, abangnya Aburizal Bakrie juga memelihara Koran nasional Pelita.

Sementara bisnis Bakrie Grup sepertinya juga semakin berkibar, sehingga bisnisnya mampu merambah ke batubara, minyak, kontruksi, jalan tol, asuransi dan bank. Hanya saja, saat membangun dunia perbankan, dengan membeli Bank Nusa Nusantara, Nirwan Bakrie terimbas kasus likuiditas BLBI tahun 1997, bersamaan dengan runtuhnya regim Soeharto.

Dari sinilah, sepertinya Nirwan Bakrie alergi melanjutkan pembangunan sepak bola dan medianya. Imbasnya, Pelita Jaya Jakarta diberikan pengelolaannya oleh Nurdin Halid. Harian Nusra (kini Nusa) diberikan ke teman-temannya. Sedangkan Sinar Pagi dan Berita Buana dikubur habis-habis nasibnya. Bahkan, sejak berhenti kompetisi akibat adanya kerusuhan nasional, Pelita Jaya sepertinya menjadi muzafir, pindah-pindah homabase, dari Solo, ke Cilegon, kemudian pindah ke Purwakarta, dan sekarang bernaung di Kerawang – Jawa Barat.

Namun, kian membaiknya Grup Bakrie, dalam tahun 2008 Nirwan Bakrie membeli Lativi milik Abdul Latief, dan menjadikan televisi swasta tersebut berubah jubahnya menjadi TvOne. Praktis, saat ini, Nirwan memiliki dua televisi, dan juga menambah ada portal online, Viva News.

Di sepak bola, sejak Nurdin Halid bercokol di PSSI tahun 2002, Nirwan Bakrie sepertinya juga semakin terlibat banyak dalam membangun manajemen PSSI, dengan posisi sebagai Wakil Ketua PSSI, serta ikut membidani Badan Liga Indonesia, menjadi perseroan terbatas, sebagai badan usaha bisnis di bawah naungan PSSI (yayasan). Artinya, sepak terjang Nirwan, memang sangat panjang dalam ikut serta mewarnai dunia sepak bola, dari tahun 1985 hingga saat ini.

Dulu Sifatnya Hobi
Bandingkan, dengan pengusaha-pengusaha sukses sebelum jaman Nirwan Bakrie, yang juga ikut andil mendirikan Liga Utama Sepak Bola (Galatama), di jaman kepemimpinan Ali Sadikin. Mereka-mereka itu, lebih dominan menjadi penggila bola yang berhobi membangun klub, tanpa berorientasi bisnis.

Sebetulnya, sebelum ada Galatama, tahun 1968 ada penggila bola asal Medan, TD Pardede yang membangun klub barunya dengan nama Pardedetex. Nyaris semua pemain hebat di jaman itu dijadikan satu tim besar di Medan, seperti Sucipto Suntoro, Abdul Kadir, Jacob Sihasaleh, Sinyo Aliandu, Ronny Pasla. Namun, saat bergabung sebagai anggota Galatama, TD Pardede sepertinya frustasi melihat cara-cara kompetisi sepak bola nasional, sudah dirasuki virus suap menyuap. Maka, TD Pardede mengundurkan diri, dan digantikan oleh anaknya, Johnny Pardede. Hanya saja, bapaknya juga masih nggak kuat melihat kompetisi semakin membabi buta main kotornya, akhirnya Pardedetex dibubarkan.

Di Jakarta, juga membanjir pengusaha-pengusaha yang berhobi membentuk tim, yang sifatnya lebih kekeluargaan ketimbang membangun bisnis bolanya. Benny Mulyono, pemilik pabrik cat terbesar jaman itu, Warna Agung, adalah klub elit yang pertama kalinya menjuarai Galatama tahun 1979. Dihuni oleh pemain-pemain nasional, seperti Ronny Pattinasarany, Rully Nerre, Robby Binus, Timo Kapisa, Endang Tirtana, Tinus Haipon, dan terakhir sebelum membubarkan diri, masih menyisakan Widodo C Putra. Namun, Benny Mulyono sepertinya juga frustasi melihat cara-cara kompetisi yang lebih dominan main suap menyuap (di jaman itu yang disuap selalu lebih banyak pemain).

Masih di Jakarta, ada klub Tunas Inti, yang dibangun lewat hobinya dari pengusaha Benniardi, pemilik PT Tempo Tbk (pabrik obat-obatan), juga akhirnya terlindas oleh gaya permaianan suap menyuap, walaupun saat itu dihuni oleh banyak pemain besar, diantaranya Ronny Pattinasarany, Rusdin Lacanda dan pemain asingnya Issac Moses (pemain asal Belanda berdarah Ambon). Saking gilanya Benniardi, tidak hanya membangun Tunas Inti. Namun juga mambangun klub Galatama, Tempo Utama (dihuni Wahyu Tanoto, Paulus Rogger). Walaupun, di masa jayanya, Tunas Inti dan Tempo Utama juga gulung tikar, bersamaan bangkrutnya bisnis PT Tempo (saat itu disinyalir, Benniardi selain pengusaha yang hobinya judi bola).

Di Surabaya, ada A. Wenas, pengusaha papan atas asal Surabaya, yang memiliki rumah judi terbesar di kawasan Indonesia Timur, juga membangun klub bernama Niac Mitra. Nyaris, semua pemain Persebaya Surabaya, saat juara Suratin Cup 1977 direkrut, seperti Hamid dan Riono Asnan, Rudi Keltjes, Rae Bawa, Joko Malis dan Syamsul Arifin. Juga pemain PSM Makassar, Yusuf Malle dan Dullah Rachim juga ditransfer. Niac Mitra saat itu, tidak hanya bintang Persebaya yang direkrut, tapi juga dua pemain asing asal Singapura, Fandi Achmad (kini pelatih Pelita Jaya Karawang) dan David Lee. Namun, karena tidak memiliki wawasan berbisnis bola, akhirnya Wenas juga bangkrut membangun Niac Mitra.

Dari Jawa Tengah, nama Arseto Solo juga menjadi salah satu tim elit. Klub milik Sigit Harjoyudanto itu, juga dihuni oleh banyak pemain-pemain bagus, seperti Ricky Yacobi, Nasrul Kotto, Eduard Tjong. Saat itu, dipastikan dana yang dikucurkan anak mendiang Presiden Soeharto itu, sepertinya tak ada limitnya. Bahkan, Stadion Manahan Solo pun ikut dibangun secara megah.

Namun, gara-gara sistem pembinaan yang amburadul, akibat gaya membina PSSI Primavera, yang dengan terang-terangan mencaplok pemain binaan klub Arseto, akhirnya berbuntut pembubaran klub elit Solo tersebut. Saat itu, Indriyanto Nugroho, adalah pemain asli Solo yang dibina Arseto Solo. Saat memperkuat Haornas Jateng, Indriyanto masuk dalam talenta skuad Primavera yang disekolahin ke Italia. Namun, setelah pulang ke Indonesia, ujug-ujug Indriyanto sudah diakui milik Pelita Jaya. Ismed Tahir, yang menjadi tangan kanan Sigit Harjoyudanto, sepertinya murka, dan memberi sikap yang sangat miris, yaitu memberi nilai transfer Indriyanto Nugroho hanya sebesar Rp 100 (baca seratus perak) ke Pelita Jaya yang dinilai sangat tidak etis dalam merekrut pemain. Dan, setelah itu, Arseto tahun 1995 membubarkan diri.

Dari ujung timur Indonesia, juga ada klub elit saat itu, namanya Makassar Utama, milik Yusuf Kalla (mantan wakil presiden). Saat itu, Makassar Utama adalah satu klub yang lumayan disegani. Ada nama-nama Mustafa Umarella, Hengky Siegers, Alimudin Usman. Namun, karena terkait banyak permainan suap menyuap, juga hasilnya Makassar Utama dibubarkan.

Di luar nama-nama klub di atas, sebetulnya hampei ‘sami mawon’ nasibnya, seperti klub-klub Jaka Utama (Yanita Utama/Krama Yudha Tiga Berlian), Mercu Buana (Medan Jaya), Lampung Putra, BBSA, Cahaya Kita, Angkasa, UMS’80, Perkasa Mataram, Sari Bumi Raya, BPD Jateng, Gajah Mungkur, Tidar Sakti, Caprina, Bintang Timur, Bima Kencana, Bali Yudha, Bima Kencana, BPD Jateng dan Pupuk Sriwijaya akhirnya semua terkubur.

Bahkan, klub raksasa di jaman itu, seperti Jayakarta yang dikelola FH Hutasoit, juga harus bangkrut, walaupun saat itu nyaris dihuni oleh begitu banyak pemain nasional, dari Sudarno, Iswadi Idris, Sofyan Hadi, Onyong Lisa, Anjas Asmara, Sutan Harhara dan Andi Lala. Begitupula Indonesia Muda milik Dimas Wahab, juga bubar di tengah jalan, setelah tersudut oleh kasus-kasus suap, padahal dihuni oleh Ronny Pasalah, Sueb Rizal, Junandi Abdullah, Dede Sulaiman dan Hadi Ismanto.

Sisi positif dari klub-klub Galatama yang pernah diikuti 41 klub di jaman itu, sudah benar dikelola oleh pihak swasta dan pribadi-pribadi yang memiliki usaha bisnis yang lumayan besar. Negatifnya, mereka para pengusaha di jaman itu sifatnya hanya hobi dan sekadar penggila bola (bisa jadi hanya ikut-ikutan), bukan bisnis sepak bola. Sebaliknya, di jaman sekarang, nyaris 90% dikelola bergaya majikan (pengusaha), tapi dananya dicubit dari APBD. Ini dipastikan tak pernah mungkin melakukan bisnis sepak bola sebagai industri.

Dulu, nama-nama klub sangat bagus dan lumayan sangar, ada Jayakarta, Warna Agung, Niac Mitra, Bandung Raya, Yanita Utama, Arema atau Mercu Buana. Sebaliknya, bandingkan, nama-nama tim yang ikut di Super Liga Indonesia, yang cenderung namanya dari singkatan, seperti Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, PSM Makassar, Persipura Jayapura atau Persib Bandung. Perlu saatnya merubah nama pada saat berubah menjadi perseroan terbatas (tapi holdingnya tetap Persija Jakarta, misalnya), tapi nama klub Jayakarta (misalkan).

Bisnis Investasi
Sebagai pencinta bola, saya mencoba mendeteksi semua sepak terjang dunia bola, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Intinya, memapaki sepak bola modern saat ini, semuanya serba barbau bisnis, dan semuanya dihitung dengan uang yang tidak kecil, dalam membangun investasinya.

Jika tidak paham betul dalam bisnis sepak bola, bisa-bisa semuanya ludes dan bangkrut. Klub se-raksasa Manchester United pun, walaupun memiliki income ratusan juta dolar, karena terkait dengan bisnis holding (sang pemiliknya), bisa jadi klub super elit Inggris ini, masih menyisakan banyak hutang. Mungkin, hanya Barcelona, yang dikelola secara unik (suporter), yang tak pernah berpikir masalah hutang, dan bahkan juga hanya mencari sponsor dari lembaga-lembaga sosial dunia, seperti Unicef (motifnya menyumbang, bukan dapat dana segar).

Di Indonesia, cepat atau lambat untuk pengelola bola, tidak bisa hanya minta disusui APBD seperti yang saat ini nyaris semua tim yang awalnya dari perserikatan masih menggunakan celah-celah anggaran dari pemerintah daerah (selain Arema Malang dan pelita Jaya). Jika hal tersebut tidak diberi rambu-rambu secara tegas, sepak bola nasional tetap akan terpuruk atau hanya ‘jalan ditempat’.

Oleh sebab itu, pengelola sepak bola yang mengikuti kompetisi di level Super Liga Indonesia, ataupun Divisi Utama, sudah harus memikirkan untung rugi dalam membangun sepak bolanya. Salah satu, investasi yang wajib dimiliki oleh setiap klub, adalah memiliki hak sepenuhnya mengelola infrastruktur, yang namanya stadion.

Stadion, bagi saya adalah modal super penting dalam menghasilkan uang cash dan fresh. Mengapa? Ya, karena dari hasil tiket penonton tersebut, setiap klub langsung bisa memutar investasi, bukan dari merchandising, sponsorship ataupun dari televisi. Oleh sebab itu, stadion sangat sakral bagi setiap klub yang ingin bisnis sepak bola. Tanpa, punya stadion yang dikelola sendiri oleh klub, maka jangan harap bisa melakukan bisnis dalam sepak bola.

Pemerintah daerah, baik gubernur/walikota ataupun bupati harus diberi instruksi dari pemerintah pusat (dalam hal ini presiden), bahwa setiap klub diberi kesempatan mengelola stadion yang sudah ada di kota-kota tersebut, dengan harga relatif murah atau gratis. Sehingga, setiap tim wajib mengelola sekaligus pemeliharaannya. Nanti, setelah memiliki income yang sudah stabil, baru diberi kesempatan melakukan bisnis sewa menyewa juga dalam batas-batas murah. Hingga, sampai mencapai kestabilan dalam membangun bisnisnya. Pihak pemerintah daerah hanya mengontrol sebagai penyeimbang, agar tidak kebablasan menjadi bagian dari kongkalikong atau korupsi.

Kalau SBY semakin serius, pemerintah daerah yaitu gubernur, walikota dan bupati hanya bisa menganggarkan alokasi APBD-nya hanya untuk sebanyak mungkin membangun infrastruktur stadion dan bandara modern. Dan, khusus untuk stadion langsung diberi kepercayaan setiap tim untuk mengelolanya dengan benar, termasuk pemeliharaannya. Kasih kesempatan setiap tim mengelola dengan bentuk kerjasama selama 10 tahun, dan sepuluh tahun berikutnya harus sudah menghasilkan bagi hasil dengan pemerintah daerah (misalnya).

Harusnya Menguntungkan
Taktik dan strategi setelah memiliki stadion yang dikelola sendiri. Maka, semuanya bisa dijadikan ladang uang. Salah satu taktik yang paling jitu, setiap tim harus memberi informasi kepada penggemar dan calon penggemarnya, bahwa tim yang dikelola itu adalah kumpulan para aktor dan para selebritis yang pantas ditonton seperti halnya penggemar musik nonton Slank, atau nonton Iwan Fals, Dewa ataupun grup band besar. Yaitu, harus membayar dengan nilai-nilai tertentu. Saran saya, minimal untuk nonton tim seperti Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Persija Jakarta atau Arema Malang nilai Rp 50.000. Kalau perlu Badan Liga Indonesia, juga memberi standart bagi klub yang ikut kompetisi Indonesia Super League (ISL) dengan nilai tersebut. Sedangkan, penonton di Divisi Utama, minimal harus membeli tiket rata-rata sebesar Rp 30.000.

Jika, syarat-syarat tersebut sudah bisa disosialisasikan dan disyahkan sebagai standart tiket minimal setiap pertandingan. Maka, tugas pengelola/pelaku tim yang sudah investasi tersebut, harus tidak bisa kompromi kepada kelompok suporter ataupun fans club, bawah tidak ada harga diskon, kecuali siap membeli tiket terusan 17 pertandingan home (jika peserta kompetisi Super Liga Indonesia – 18 klub), baru mendapat diskon yang tidak banyak (5 sampai 7,5%), kalau hanya membeli sekali nonton, ya harus bayar Rp 50 ribu, kelas I bisa dihargai Rp 100 ribu dan VIP dihargai Rp 250 ribu (ya harus nyaman).

Contohnya : Stadion Kanjuruhan, jika diberi kesempatan dikelola sendiri oleh Arema Malang, tanpa ikut campur pemerintah daerah (walaupun tanah dan bangunan itu milik pemda). Maka, jika kapasitas stadion Kanjuruhan itu bisa menampung 50 ribu penonton. Jika, rata-rata tiket termurah harganya Rp 50 ribu, maka income Arema Malang dalam setiap pertandingan mencapai Rp 2,5 miliar. Maka, kalau ada 17 kali pertandingan di kandang ‘Singo Edan’ ini, akan mendapatkan tiket penonton sebesar Rp 42.700.000.000 (empat puluh dua miliar, tujuh ratus juta rupiah). Kalau, dihitung targetnya hanya 50% saja dari target income yang didapat, maka Arema satu musim bisa meraih tiket penton sebesar Rp 21.350.000.000 (kurang lebih Rp 21 miliar).

Pemasukan riil yang langsung bisa menjadi nyata adalah merchandising. Saya sangat ngiler melihat outlet independent yang mengolola merchandising di kota Malang, dari semua asesoris yang memiliki icon-icon Arema Malang. Jika, manajereman Arema Malang diberi ilmu oleh Badan Liga Indonesia, maka pemasukan setiap musim Arema Malang bisa meraih mendapatan bersih sekitar Rp 5 miliar, dari kreatifitas kostum baru setiap musim saja (kostum home and away, pin, slayer, topi, mug).

Ada keuntungan yang tidak dimiliki oleh tim-tim lain di luar Arema Malang (bisa ditiru, dengan memaksimalkan perusahaan-perusahaan lokal oleh tim lainnya). Yaitu peran PT Bentoel yang merasa memiliki kota Malang sebagai homebase-nya. Walaupun saat ini, PT Bentoel tidak lagi ikut serta dalam kepemilikan Arema Malang, namun goodwill-nya, PT Bentoel masih ‘tutup mata’ menyiram Arema Malang sebesar Rp 7 miliar.

Kalau Arema Malang bisa memelihara manusia-manusia berjiwa marketing yang handal, maka tidak tertutup kemungkinan Arema Malang bisa mendapatkan sponsorship yang lebih besar ketimbang Bentoel (yang seolah-olah wajib menyumbang Arema Malang). Modal kompensasinya, adalah stadion Kanjuruhan dari semua sudut, serta punya suporter setia yang datang ke stadion sebanyak 50 ribu suporter. Ini sungguh asset yang super dasyat, dan pasti akan dilirik oleh banyak produk.

Awal musim ini, saya mencoba menawarkan diri bisa bertemu dengan manajer Persebaya, Saleh Mukadar di Jakarta. Saya punya klien - Flexi yang ingin bermain dan terlibat di sepak bola nasional. Nilainya memang tidak banyak, yaitu sebesar Rp 2 miliar. Bahkan, pihak manajemen marketing Flexi, sudah menujuk dan naksir berat dengan Persebaya Surabaya, karena memiliki suporter yang fanatik dan militan. Kalau bisa mampu tiga besar atau juara, nilai kontraknya akan bertambah, demikian saran saya kepada Flexi.

Hanya saja, waktu itu saya diberi peran, agar bisa cawe-cawe memberi saran, agar Persebaya Surabaya bisa menjadi salah satu kandidat musim ini. Dari pembicaraan saya dengan Saleh Mukadar tersebut, saya memberi saran kalau bisa bekerjasama dengan pihak sponsor Flexi, saya menyarankan agar tidak memilih pelatihnya Danurwindo. Alasan saya agar Persebaya Surabaya tidak memilih Danurwindo, menurut saya, karena Danur itu pelatih brilian yang tidak pernah bisa menterjemahkan ilmu-ilmunya kepada pemainnya, dan tidak pernah bisa menjadi teman bagi anak buahnya. Intinya, Danur itu pinter tapi kaku, jadi kalau memakai Danur harus ditandem oleh orang yang bisa membaur kepada semua ofisial tim. Dan, cara ini pasti tidak afektif. Makanya, sampai hari ini perjalanan Danur selalu ‘jeblok’.

Namun, seminggu berikutnya Saleh Mukadar sepertinya ndableg, dengan bangga menulis di statusnya di jejaring sosial Facebook, yang intinya, walaupun banyak orang menentang terpilihnya Danurwindo memoles Persebaya Surabaya, saya putuskan justru memilih Danurwindo. Demikian kira-kira status Saleh Mukadar. Dan, setelah itu Saleh Mukadar juga tidak lagi menghubungi saya.

Saya mencoba menganalis, bahwa dalam mengelola sebuah lembaga yang berorientasi bisnis, seharusnya Saleh Mukadar berpikir kompromi. Memang, saran saya belum tentu benar, jika Persebaya Surabaya tanpa Danurwindo bisa juara. Namun, harusnya Saleh Mukadar juga berpikir bisnis, karena saran saya waktu itu, kalau tidak memilih Danurwindo, saya juga kasih solusi yaitu mengontrak Daniel Roekito (sosoknya bertanga dingin, sering membawa tim biasa-biasa jadi trengginas dan juga bisa juara). Dan, kalau saat itu Saleh Mukadar mau memilih Daniel Roekito, maka manajemen Flexi akan mengucurkan dana Rp 2 miliar sebagai sponsorship awal (meningkat jika punya prestasi).

Kembali, ke masalah Arema Malang, kalau Persebaya Surabaya yang belum teruji dalam kancah ISL sudah ditaksir oleh pihak sponsorship sebesar Rp 2 miliar, harusnya Arema Malang memiliki nilai lebih dibandingkan Persebaya, karena memiliki prestasi yang lebih bagus dekade ini dibandingkan Persebaya (walaupun pernah juara Divisi Utama). Namun, Persebaya baru saja naik pangkat dari anggota Divisi Utama promosi ke ISL. Hitunglah, nilai Arema Malang Rp 3 miliar setiap tahun dari sponsor di luar goodwill PT Bentoel.

Ada pemasukan yang sampai hari masih ‘dicurangi’ oleh Badan liga Indonesia, yang seharusnya menjadi milik klub yang jumlahnya sebetulnya lumayan jika dijumlah. Yaitu, mendapatkan dari televisi. Sebagai pemilik tunggal hak siar, ANTV sepertinya dipaksa oleh BLI – PSSI, dengan memberi nilai dari siaran langsung ke setiap klub yang sangat ‘miskin’, yaitu hanya sebesar Rp 40 sampai 60 juta setiap pertandingan untuk tuan rumah. Ini jelas-jelas sangat ‘curang’. Seharusnya, ANTV memberi kontrak kepada tuan rumah minimal Rp 100 juta untuk tim-tim biasa, dan Rp 200 juta untuk tim favorit (semuanya bisa diklasifikasikan sebagai tim favorit dan tim biasa).

Dalam kepengurusan PSSI dan BLI yang baru nanti (kalau SBY bisa menggusur Nurdin Halid dkk) aturan-aturan seperti ini harus dijalankan, agar setiap tim bisa meraup sebanyak mungkin income dari berbagai sumber sebagai haknya. Termasuk dari televisi. Ambil contoh, saat Iwan fals launching album terbarunya, ‘Keseimbangan’, yang siaran langsungnya dibeli pihak TvOne, maka pihak TvOne membeli acara tersebut dari manajemen Iwan Fals sebesar Rp 300 juta. Saya pikir, ANTV harus mencontoh sistem bisnis seperti itu, kalau mau menyiarkan siaran langsung Arema Malang versus tim favorit (dinilai sebagai big match) nilainya Rp 300 juta, jika menghadapi tim seperti Persitara Jakarta Utara nilai Rp 200 juta. Berarti satu musim, jika aturan ini diberlakukan, maka Arema malang dalam satu musim rata-rata mendapat pemasukan dari televisi sebesar Rp 3,4 miliar (jika rata-rata Rp 200 juta dikalikan 17 pertandingan).

Jadi, total pendapatan tim seperti Arema Malang, yang memiliki infrastruktur stadion yang dikelola sendiri dalam satu musim, sebesar Rp 21 miliar (penonton), merchandising Rp 5 miliar, goodwill PT Bentoel Rp 7 miliar, sponsorship Rp 3 miliar, hak siar televisi Rp 3,4 miliar, jumlahnya sekitar Rp 38,5 miliar.

Mari kita hitung bareng-bareng, pengeluaran satu musim dari manajemen Arema Malang secara kasat mata saja. Untuk keperluan kontrak pemain sekitar Rp 15 miliar (sudah mendapatkan kualitas pemain yang mumpuni dan berkualitas). Transportasi Rp 2 miliar. Mess pemain dan makanan bergizi pemain Rp 3 miliar, panitia pertandingan Rp 4 miliar. Ujicoba dan persiapan tim menjelang kompetisi Rp 1 miliar. Maka, totalnya Rp 25 miliar sebagai modal investasi. Dan, menghasilkan Rp 38,5 miliar (kira-kira jika dihitung punya pinjaman ke bank sebesar Rp 25 miliar, pihak bank akan memberi pinjaman, mengingat punya perhitungan bisnis dengan keuntungan yang nyaris 30% dari nilai pinjaman per tahun).

Tim sebesar Arema Malang, masih punya pemasukan tambahan, jika mampu membangun kompetisi lokal amatir untuk pembinaan di usia dini, dari U-15, U-17, U-19 dan U-21 untuk mencetak pemain berbakat di sekitar kota Malang dan sekitarnya. Arema saatnya membangun investasi jangka panjang dengan memutar roda kompetisi pembinaan tersebut yang kira-kira nilainya tidak lebih dari Rp 1 miliar. Namun, bisa menghasilkan talenta-talenta berbakat dengan nilai jual tinggi. Konsep ini, sebetulnya mengurangi anggaran pembelian pemain lokal atau asing, tapi memaksimalkan pemain binaan sendiri.

Jika Arema Malang memiliki prestasi, misalkan juara Indonesia Super League atau pun juga juara Piala Indonesia, maka juga akan meraih hadiah yang sekitar Rp 2 sampai 3 miliar (dalam kepengurusan PSSI yang baru nanti, saatnya hadiahnya bisa mencapai Rp 10 sampai 20 miliar, agar semua tim semakin serius mengelola tim dengan investasi yang benar).

Dan, otomatis, jika Arema bisa juara, dipastikan mewakili Indonesia di laga AFC Champions League. Dengan wakil dari Indonesia saja, AFC sudah memberi hadiah sebagai peserta sebesar Rp 2 miliar (sebagai subsidi) untuk penyelenggara dan juga transportasi away. Dengan menggelar tiga (3) kali pertandingan kandang dari peserta AFC Champions League saja, Arema Malang, diperkirakan masih mengantongi Rp 7,5 miliar dari tiga (3) partai home. Jika, masa depannya tim-tim Indonesia mampu mencapai prestasi puncak di level kompetii Asia, hadiahnya gila-gilaan, juara AFC Championship bisa mencapai Rp 100 miliar, mencapai semifinal sudah dapat Rp 25 miliar. Menggiurkan bukan?

Perhitungan sistem bisnis sepak bola ini, bukan hanya ‘macan kertas’, semuanya dimulai dari tekad dan kepedulian pemerintah (jika SBY benar-benar serius ikut memikirkan sepak bola), bukan hanya memikirkan pencintraan SBY. Maka, tinggal ketok palu, ikuti saran saya, dan benahi semua elemen-elemen yang ada dalam pembinaan dan kompetisi, maka cukup membutuhkan waktu 8 tahun, semua klub yang ikut kompetisi tidak lagi pontang-panting mengelola tim, dan otomatis prestasi itu nongol dengan sendirinya.

Erwiyantoro
Pencinta sepak bola Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar